KABAR-DESAKU.COM – Dua novel berbahasa Indonesia, Kuntul Nucuk Mbulan karya Sahal Japara dan Bau karya Gunoto Saparie, menjadi bukti bagaimana sastra dapat menjadi medium penting dalam menjaga dan menafsir ulang identitas budaya Pantura.
Kedua novel ini tidak hanya mengangkat nilai-nilai lokal, tetapi juga menggali kembali sejarah spiritual dan kejayaan masa lalu pesisir utara Jawa.
Pengamat budaya Sukarjo Waluyo menilai karya-karya tersebut sebagai upaya penting dalam membangun identitas kultural masyarakat masa kini.
Novel Kuntul Nucuk Mbulan merupakan reinterpretasi modern terhadap wejangan Syekh Mutamakkin, tokoh spiritual legendaris dari Desa Kajen, Pati, yang dikenal melalui manuskrip Serat Cabolek.
Wejangan yang diangkat Kuntul Nucuk Mbulan dan Sing Pendhitku Ngusap ing Mbun merupakan simbol-simbol religius dan filosofis yang tergurat pada ragam hias Masjid Kajen.
Penelitian filologis yang dilakukan oleh Muh. Taufiqul Hakim menemukan bahwa masyarakat Desa Kajen selama ini menerima wejangan tersebut secara turun-temurun tanpa banyak upaya pembacaan ulang secara kontekstual.
Dalam novel tersebut, tokoh utama bernama Paejan, seorang santri muda, memulai perjalanan spiritual untuk memahami dua wejangan itu.
Kuntul Nucuk Mbulan dimaknai sebagai sikap qanaah dan laku tirakat, digambarkan melalui simbol burung kuntul yang mematuk cahaya rembulan.

2 novel berbahasa Indonesia yang terinspirasi oleh spirit Jawa Pesisir
Sedangkan Sing Pendhitku Ngusap ing Mbun adalah pesan tentang pentingnya restu dan kerendahan hati dalam menuntut ilmu.
Novel ini telah dicetak empat kali dan banyak dibicarakan dalam forum-forum pendidikan dan pengajian di Kabupaten Pati, khususnya saat Haul Syekh Mutamakkin di bulan Syuro.
Sementara itu, novel Bau karya Gunoto Saparie, yang dinominasikan dalam Penghargaan Prasidatama Balai Bahasa Jawa Tengah tahun 2020, mengisahkan tokoh Tumenggung Bahurekso dari Kendal.
Melalui narasi sejarah dan imajinasi, Gunoto menghadirkan kembali masa kejayaan Kaliwungu dan Kendal sebagai daerah pesisir strategis dalam peta politik Jawa.
Sosok Bahurekso digambarkan sebagai pemimpin yang cerdas dan diplomatis, berada di antara tarik-menarik kekuasaan Sultan Agung dan VOC.
Menurut Sukarjo Waluyo, kedua novel ini menghadirkan isu besar mengenai identitas budaya dalam konteks demokratisasi saat ini. Ia merujuk pada teori Stuart Hall bahwa identitas adalah produk sosial yang terus berubah dan dibentuk oleh dinamika zaman.
Dalam pandangan Sukarjo, para penulis novel tersebut bertindak sebagai inovator yang merekonstruksi kembali identitas lokal melalui medium sastra.
“Bisa jadi Mas Gunoto ingin menyampaikan dan mengingatkan memori besar masa lalu sebagai inspirasi agar anak muda bisa bangkit kembali,” ujar Sukarjo.
Sukarjo menegaskan bahwa meskipun dalam novel ditemukan fakta-fakta sejarah, unsur imajinatif tetap hadir, menjadikan karya tersebut sebagai kombinasi antara dokumentasi sejarah dan ekspresi budaya.
Dengan cara inilah, Sukarjo melihat karya sastra lokal seperti Kuntul Nucuk Mbulan dan Bau memiliki nilai strategis dalam menjaga dan menghidupkan kembali identitas budaya masyarakat Pantura.
Sastra menjadi alat perenungan masa lalu, cermin realitas hari ini, dan panduan menapaki masa depan yang lebih berakar pada nilai-nilai kultural lokal.***