Makna Bubur Suro: Tradisi Khas 1 Muharram yang Sarat Filosofi

KABAR-DESAKU.COM – Setiap 1 Muharram, masyarakat Jawa dan sebagian daerah di Indonesia menyambut tahun baru Islam dengan sebuah tradisi yang tak lekang oleh zaman, yakni menyajikan Bubur Suro.

Di balik tampilannya yang sederhana, bubur ini menyimpan makna mendalam yang mencerminkan nilai spiritual dan filosofi hidup.

Baca Juga: Liburan Murah Meriah? Yuk ke Wisata Baru Desa Karangjambe, Banjarnegara

Asal Usul dan Filosofi Bubur Suro

Nama “Suro” merujuk pada bulan Muharram dalam penanggalan Jawa. Bulan ini dianggap sakral, penuh kontemplasi dan doa.

Bubur Suro disajikan pada malam atau hari pertama bulan Suro sebagai bentuk rasa syukur, doa keselamatan, dan harapan akan kehidupan yang lebih baik di tahun baru hijriyah.

Lebih dari sekadar ritual, tradisi ini telah hidup ratusan tahun sebagai warisan leluhur yang sarat makna filosofis.

Setiap unsur dalam bubur suro memiliki simbol tersendiri, yang memperkaya nilai-nilai kehidupan masyarakat.

Simbolisme dalam Bubur Suro

Bubur Suro terdiri dari bubur nasi putih yang disajikan bersama beberapa lauk pelengkap yang biasanya berjumlah ganjil, terutama tujuh jenis lauk, seperti:

– Telur rebus utuh: melambangkan keutuhan dan harapan akan keluarga yang utuh dan rukun.

– Abon atau daging suwir: simbol rezeki yang halal dan mencukupi.

– Kacang-kacangan (kedelai, kacang tanah): menandakan kesuburan dan pertumbuhan.

– Kerupuk dan sambal: pelengkap rasa, agar hidup tidak hambar, penuh warna dan semangat.

Jumlah lauk yang ganjil, khususnya tujuh, dipercaya sebagai representasi dari tujuh hari dalam seminggu.

Hal ini mencerminkan harapan agar seluruh hari yang dijalani dalam setahun ke depan senantiasa penuh berkah.

Tradisi Berbagi dan Doa Bersama

Selain disajikan untuk keluarga, Bubur Suro biasanya dibagikan kepada tetangga, kerabat, bahkan ke masjid atau musholla.

Tradisi ini menjadi sarana mempererat silaturahmi dan kebersamaan, sekaligus menumbuhkan semangat berbagi rezeki di awal tahun.

Di beberapa daerah, acara memasak bubur ini dilakukan bersama-sama, lalu dilanjutkan dengan doa bersama atau pengajian.

Kebiasaan ini bukan hanya memperkuat ikatan sosial, tetapi juga menumbuhkan rasa peduli antarsesama.

Baca Juga: Grobyak Telaga Klepeng Bendogede 2025: Tradisi Lestarikan Alam yang Jadi Daya Tarik Wisata Budaya Gunungkidul

Pelestarian Budaya Penuh Nilai

Meski zaman terus berubah, tradisi Bubur Suro tetap lestari. Bukan hanya karena kelezatannya, tetapi karena nilai-nilai luhur yang dikandungnya.

Generasi muda diajak untuk mengenal dan menjaga tradisi ini sebagai bagian dari identitas budaya sekaligus bentuk pengamalan nilai-nilai spiritual Islam.

Bubur Suro bukan sekadar makanan khas 1 Muharram. Ia adalah simbol harapan, doa, dan filosofi hidup yang diwariskan oleh leluhur kita.

Dalam satu piring bubur, tersimpan nilai kesederhanaan, solidaritas, dan keinginan untuk hidup lebih baik di tahun baru.

Sudah saatnya kita terus melestarikan tradisi ini sebagai bagian dari jati diri dan spiritualitas bangsa.***




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *