Aksi Mahasiswa: Menolak Ditunggangi, Mengawal Demokrasi

KABAR-DESAKU.COM – Akhir Agustus 2025 menandai salah satu momen paling panas dalam sejarah demokrasi Indonesia. Kebijakan tunjangan perumahan DPR senilai Rp50 juta per bulan, sepuluh kali lipat upah minimum provinsi, memicu amarah publik.

Sejak 25 Agustus, gelombang demonstrasi mahasiswa dan buruh meletus di berbagai kota besar, mulai Jakarta hingga Makassar, Surabaya, dan Medan.

Puncaknya terjadi pada 29 Agustus 2025 di depan Mabes Polri, Jakarta. Ribuan mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) dan sejumlah aliansi kampus menggelar aksi serentak, menuntut pembatalan kebijakan tersebut, penegakan akuntabilitas publik, serta pembebasan lebih dari 600 demonstran yang ditahan sejak awal aksi.

Namun, suasana berubah mencekam ketika Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring yang tak terlibat aksi, tewas akibat terlindas kendaraan taktis Brimob.

Tragedi ini menyulut kemarahan publik, membuat gelombang protes semakin meluas, bahkan memicu seruan pembubaran DPR dan perombakan kabinet.

Mahasiswa dikenal sebagai watchdog moral bangsa. Dalam sejarahnya, mereka selalu menjadi motor penggerak perubahan: dari 1966, 1974, 1998, hingga kini.

Baca juga: Rumah Baca Purnama Gelar Sharing Session Digital Marketing untuk Perkuat Ekonomi Masyarakat

Namun, dinamika gerakan mahasiswa selalu dibayang-bayangi pertanyaan klasik: apakah mereka bergerak murni untuk rakyat, atau ditunggangi oleh kepentingan tersembunyi?

BEM SI secara terbuka menyatakan bahwa aksi Agustus 2025 dilakukan secara independen, tanpa afiliasi dengan partai politik mana pun. Ketua BEM SI mengatakan dalam konferensi pers,

“Kami berdiri atas nama rakyat. Tidak ada ruang bagi kepentingan politik sempit di tengah perjuangan ini” (Konferensi Pers BEM SI, 29 Agustus 2025).

Meski demikian, sejumlah pengamat mengingatkan risiko kooptasi gerakan mahasiswa. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Demokrasi Nusantara, R. Hidayat, menekankan: “Gerakan yang besar selalu menjadi incaran aktor politik untuk menumpang popularitas. Tanpa mekanisme transparansi dan disiplin moral, mahasiswa dapat menjadi alat propaganda.”

Berdasarkan analisis gerakan sosial, ada setidaknya tiga titik rawan yang bisa membuat gerakan mahasiswa kehilangan kemurnian: Pertama, Pendanaan yang Tidak Transparan. Gelombang aksi besar memerlukan logistik. Ketika sumber dana tidak jelas, potensi intervensi pihak eksternal meningkat. Kedua, Agenda yang Terlalu Politik.

Tuntutan publik yang konkret (pembatalan kebijakan DPR, reformasi kepolisian) bisa bergeser menjadi narasi ekstrem seperti seruan pengunduran diri pemerintah. Isu ini sering kali dimanfaatkan oleh kelompok oposisi untuk mengkapitalisasi ketidakpuasan publik. Ketiga, Fragmentasi Organisasi. Ketika gerakan tidak solid dan koordinasi melemah, kelompok luar dapat memanfaatkan perpecahan untuk menyusup dengan agenda terselubung.

Di tengah kecurigaan publik, gerakan mahasiswa perlu menunjukkan sikap tegas melalui beberapa langkah strategis:

Pertama, Menegaskan Kode Etik dan AD/ART Gerakan. Setiap keputusan aksi, tuntutan, dan penggunaan dana harus melalui mekanisme demokratis di internal organisasi.

Kedua, Transparansi Dana dan Publikasi Agenda. Mahasiswa perlu memublikasikan laporan keuangan aksi, sumber dukungan, dan dokumen resmi tuntutan agar publik dapat menilai independensi mereka.

Ketiga, Membangun Ruang Diskusi Alternatif. Aksi massa harus disertai kajian ilmiah, seminar publik, atau forum diskusi lintas kampus agar tidak sekadar menjadi ekspresi emosional, tetapi juga menghasilkan peta jalan kebijakan yang rasional.

Sejarawan politik Anhar Gonggong menyebutkan: “Gerakan mahasiswa hanya akan memiliki kekuatan moral jika ia berdiri di atas kebenaran, bukan kepentingan.”

Jika gerakan mahasiswa kehilangan kemurniannya, maka:

Pertama, Legitimasi Moral Hilang . Aksi akan dianggap sebagai bagian dari perebutan kekuasaan.

Kedua, Kepercayaan Publik Melemah. Rakyat akan melihat gerakan hanya sebagai alat propaganda, bukan suara mereka.

Ketiga, Demokrasi Menjadi Korban. Alih-alih memperkuat sistem, gerakan yang ditunggangi akan menambah kerusakan politik.

Kematian Affan adalah simbol kegagalan komunikasi antara rakyat dan negara. Gerakan mahasiswa, sebagai suara moral, harus menuntut investigasi independen, kompensasi untuk keluarga korban, dan reformasi aparat keamanan agar kejadian serupa tidak terulang.

Namun, mahasiswa juga harus mawas diri. Jangan sampai perjuangan yang lahir dari tragedi kemanusiaan ini dikaburkan oleh agenda politik yang tidak bertanggung jawab. Di sinilah tantangan moral terbesar mereka berada.

Demo Agustus 2025 menjadi pengingat bahwa demokrasi tidak hanya diuji oleh pemerintah, tetapi juga oleh integritas para pengawalnya.

Gerakan mahasiswa harus terus berdiri di garda depan, namun dengan kesadaran penuh: menjaga agar suara rakyat tidak menjadi komoditas politik.

Demokrasi akan tetap hidup jika moralitas menjadi fondasi perjuangan. Sebagaimana kata Bung Hatta, “Demokrasi tanpa moral adalah anarki, moral tanpa demokrasi adalah tirani.” Maka, mahasiswa wajib menolak ditunggangi demi menjaga marwah perjuangan dan cita-cita bangsa. Wallahua’lambishshawaab.***

Ditulis oleh: Priyanto, M.Pd.I.
(Ketua Internal BADKO HMI Jateng-DIY Periode 2004-2006)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *