KABAR-DESAKU.COM – Alfi duduk termenung di teras rumahnya. Remaja 16 tahun itu sering merasa dirinya tidak seistimewa teman-temannya. Ayahnya, Pak Harun, adalah seorang guru sekolah menengah yang dikenal bijaksana dan sabar. Meski ayahnya sering dipuji banyak orang, Alfi merasa sulit memahami bagaimana hidup sederhana seperti keluarganya bisa membawa kebahagiaan.
“Alfi, bantu ibu angkat jemuran,”tiba – tiba suara lembut ibunya terdengar dari dapur membuyarkan lamunannya. Alfi mengangguk sambil memikirkan ayahnya yang setiap pagi berangkat lebih awal untuk mengajar.
Di sekolah, Alfi sering merasa tidak percaya diri. Temannya, Rendi, adalah siswa yang aktif dan sering menonjol dalam kegiatan sekolah. Alfi merasa dirinya hanya bayang-bayang, tidak memiliki sesuatu yang membuatnya istimewa.
“Kamu kenapa, Fi? Kok belakangan kayak kurang semangat?” tanya Rendi saat mereka duduk di kantin.
“Ah, biasa aja. Cuma merasa nggak ngerti apa yang sebenarnya mau aku lakukan,” jawab Alfi dengan nada lesu.
Di rumah, Pak Harun menghadapi tantangan lain. Salah satu muridnya, Dani, memiliki kebutuhan khusus dan sulit mengikuti pelajaran. Namun, Pak Harun tak pernah menyerah. Ia selalu mencari cara untuk membuat Dani merasa nyaman dan mampu belajar seperti siswa lainnya.
Suatu hari, Alfi terlibat pertengkaran kecil dengan Rendi karena merasa dirinya selalu dibandingkan.
“Kamu enak, Ren. Selalu dapat perhatian guru dan teman-teman. Aku? Aku cuma ada di belakang layar!” Alfi membentak Rendi.
“Kamu tahu nggak? Ayahmu itu inspirasi banyak orang, termasuk aku. Kalau kamu nggak bisa lihat itu, kamu yang rugi,” balas Rendi sebelum pergi meninggalkan Alfi.
Malam harinya, Alfi duduk termenung di ruang tamu. Ayahnya baru pulang, wajahnya terlihat lelah namun tetap tersenyum.
“Kenapa, Fi? Ada yang mau kamu ceritakan?” tanya Pak Harun.
Alfi akhirnya mengungkapkan perasaannya. “Ayah, kenapa ayah selalu sabar sama murid-murid? Bahkan Dani yang sulit belajar itu, kenapa ayah nggak menyerah?”
Pak Harun terdiam sejenak. “Fi, hidup ini bukan tentang seberapa hebat kita di mata orang lain. Tapi, seberapa besar kita bisa bermanfaat. Dani memang sulit belajar, tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Ayah percaya setiap anak punya potensinya sendiri, termasuk kamu.”
Pak Harun menceritakan bagaimana ia dulu pernah menghadapi murid yang serupa. Meski butuh waktu, murid itu akhirnya bisa melanjutkan pendidikan dengan baik.
“Kadang, kunci dari semua ini adalah kesabaran dan keyakinan. Ayah yakin kamu juga bisa menemukan jalanmu sendiri.”
Kata-kata ayahnya menggema di kepala Alfi. Ia mulai memahami bahwa hidup tidak harus selalu tentang bersaing, tetapi tentang bagaimana memberi makna. Hari berikutnya, Alfi meminta maaf kepada Rendi.
“Aku sadar, aku terlalu banyak membandingkan diri dengan orang lain. Maaf, ya,” ujar Alfi tulus.
“Sudah, nggak apa-apa. Aku senang kamu mulai berubah,” balas Rendi sambil tersenyum.
Alfi juga mulai memperhatikan lebih banyak hal di sekitarnya. Ia mencoba membantu teman-teman yang kesulitan memahami pelajaran, terinspirasi oleh sikap ayahnya.
Saat Pak Harun melihat perubahan ini, ia tersenyum bangga. “Kamu mulai mengerti, ya, Fi?” tanyanya. Alfi hanya mengangguk.
Beberapa bulan kemudian, Alfi menyadari bahwa ia ingin menjadi seseorang yang bisa membantu orang lain, seperti ayahnya. Ketika ayahnya bertanya tentang rencana masa depannya, Alfi menjawab dengan yakin, “Aku ingin menjadi guru, Yah. Aku ingin memberikan makna, seperti yang Ayah lakukan.”
Pak Harun terharu mendengar jawaban itu. “Ayah bangga padamu, Fi.”
Hari itu, Alfi tidak hanya menemukan tujuannya, tetapi juga belajar bahwa hidup adalah tentang memberi, bukan sekadar menerima. Ayahnya memang guru sejati, bukan hanya di kelas, tetapi juga di dalam keluarga.
Tamat