KABAR-DESAKU.COM – Ketika berbicara tentang transformasi pendidikan nasional, narasi besar sering kali hanya menyentuh permukaan persoalan: kurikulum yang berubah, sistem zonasi, program sekolah penggerak, hingga istilah-istilah megah yang terdengar menjanjikan.
Namun, bagaimana sebenarnya perubahan itu dirasakan di ruang-ruang kelas pelosok negeri, di sekolah-sekolah kecil yang jauh dari pusat kebijakan? Di situlah letak ujian sejati dari keadilan pendidikan.
Baca Juga: Tradisi Bertemu Kreasi: Gobag Sodor Dasteran Ramaikan Peringatan HUT Ke-80 RI Desa Gumiwang
Di tengah berbagai inisiatif reformasi, Tes Kemampuan Akademik (TKA) hadir bukan sekadar instrumen teknis, melainkan simbol upaya menghadirkan sistem evaluasi yang lebih objektif, adil, dan merata.
Lebih dari alat ukur, bagi siswa dan guru di daerah, TKA menjadi tanda pengakuan bahwa perjuangan dalam keterbatasan tidak boleh diabaikan.
Standar yang Merata, Kesempatan yang Sama
Selama ini, sistem penilaian di Indonesia sangat bergantung pada nilai rapor dan ujian sekolah, padahal standar penilaian antar sekolah jelas berbeda.
Sekolah di kota besar mungkin memiliki laboratorium lengkap, akses internet stabil, dan guru-guru dengan pelatihan rutin.
Sebaliknya, sekolah di daerah tertinggal harus menghadapi keterbatasan: buku yang minim, guru rangkap mata pelajaran, bahkan ruang belajar yang tidak layak.
Dalam kondisi timpang seperti itu, nilai rapor tak bisa lagi dijadikan satu-satunya tolok ukur. Apakah adil jika siswa dari sekolah pelosok harus bersaing di jalur seleksi dengan nilai yang lahir dari standar yang tidak seimbang?
Di sinilah celah yang coba dijembatani oleh TKA. Dengan menguji kemampuan nalar, penalaran, dan pemecahan masalah, bukan sekadar hafalan, TKA membuka kesempatan yang lebih adil. Pesannya sederhana namun kuat: kecerdasan bisa lahir di mana saja, termasuk dari ruang kelas kecil di kaki gunung atau pinggir hutan.
Baca Juga: SMP Negeri 3 Kutasari Peringati HUT Ke-80 RI, Jaga Amanah Kemerdekaan dengan Refleksi Pendidikan
Evaluasi sebagai Pendorong Perubahan Sistemik
Lebih jauh lagi, TKA memiliki peran penting sebagai alat advokasi sosial. Data hasil TKA tidak hanya berguna bagi siswa atau sekolah, melainkan juga bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan.
Ketika suatu wilayah tertinggal secara capaian akademik, itu seharusnya menjadi alarm untuk menambah guru, memperbaiki sarana, atau mengalokasikan anggaran pendidikan lebih besar. Evaluasi, dengan demikian, bukan hanya penyaring individu, tetapi peta jalan pembenahan sistem.
Tentu saja, penerapan TKA bukan tanpa tantangan. Infrastruktur masih menjadi kendala utama: akses internet terbatas, perangkat minim, hingga guru yang belum terbiasa dengan soal berbasis penalaran.
Namun, justru di sinilah kolaborasi lintas sektor menjadi penting. Pemerintah pusat, daerah, sekolah, organisasi profesi guru, bahkan dunia usaha perlu bersinergi memastikan agar transformasi ini bukan sekadar kebijakan di atas kertas, melainkan kenyataan di lapangan.
Pada akhirnya, TKA adalah simbol perubahan cara pandang kita terhadap pendidikan. Evaluasi bukanlah ancaman, melainkan peluang. Bagi siswa di kota, ia adalah tantangan untuk berpikir kritis.
Bagi siswa di desa, ia adalah kesempatan membuktikan diri meski dalam keterbatasan. Bagi guru, ia adalah alat bantu memahami siswanya lebih baik. Dan bagi pemerintah, ia adalah cermin yang menyingkap tanggung jawab yang belum tertunaikan.
Melalui TKA, kita tidak hanya mengukur kecerdasan siswa, tetapi juga mengukur keberanian bangsa ini untuk membenahi sistem pendidikan secara menyeluruh.
Kini, jalannya telah terbuka. Yang dibutuhkan bukan sekadar kebijakan, melainkan komitmen dan keberpihakan.
Agar anak-anak dari pinggiran negeri tidak lagi menjadi penonton dalam transformasi pendidikan, tetapi turut merasakan, menjalani, dan menyumbangkan potensi terbaik mereka bagi bangsa.***
Penulis: Denny yulloh (Pemerhati Kebijakan Pendidikan dan Ketua umum IMM Banjarnegara)