Gus Miftah, Es Teh, dan Perspektif Moralitas Pancasila

KABAR-DESAKU.COM – Miftah Maulana Habiburrahman Pendakwah sekaligus Utusan Khusus Presiden Prabowo Subianto atau yang lebih  dikenal Gus Miftah kini sedang menjalani suatu pergolakan tentang etika moral Pancasila dalam dirinya.

Belakangan ia jadi sorotan publik setelah  ‘memasak’ seorang penjual es teh dalam kegiatan keagamaan di Magelang.

Miftah melontarkan olokan bernada kasar kepada Sunhadi, sosok pria penjual es teh di depan massa acara majelis keagamaan.

Entah dilakukan dengan sadar atau tidak, Miftah mencaci Sunhadi dengan kata kasar yang konon katanya hanya lelucon.

Pada akhirnya setelah viral di mana-mana,  Miftah lekas menyadari kesalahan dan mengungkapkan permintaan maaf secara langsung kepada Sunhadi di rumahnya.

Baca Juga: Desa Wisata Rumah Domes, Destinasi Unik dan Cantik Di Yogyakarta

Namun setelah semua itu terjadi, Miftah tidak serta merta akan hilang tanggung jawab dari konsekuensi logis masalah.

Gus kondang itu sejatinya akan menjalani fase pergolakan batin tentang apa itu dampak kebenaran yang diyakini.

Mulai dampak sisi keagamaan sebagai pendakwah, lalu dari sisi politikal, serta bagaimana ia menyikapi kesalahan yang tak disadari.

Pertanyaa secara konsekuensi moralitas, Apakah Miftah akan habis dalam jerat jebakan yang dibuat sendiri atau mampu belajar dari kesalahan manusiawi kemarin?

Lupa Etika Moral-Religius Pancasila

Sejatinya jika kita cermati, Miftah secara tidak langsung sedang mengajarkan kita ‘masterclass’ tentang bagaimana cara memandang kehidupan bermasyarakat berdasarkan prinsip nilai etika dan moral Pancasila.

Nilai Pancasila telah berdiri dan hidup sebagai pandangan hidup bangsa (way of life), yang otomatis kita gunakan juga dalam hidup sosial dan bernegara.

Etika sama maknanya dengan moral. Etika dalam pengertian luas adalah ilmu yang membahas tentang kriteria baik dan buruk.

Dalam konteks masalah Gus Miftah, ada masalah dalam menggunakan sistem nilai yang dianut. Yaitu masalah etika moral dan religius Pancasila.

Miftah tampaknya lupa bahwa ada sekat etika antara keseriusan belajar (bagi jamaahnya) serta definisi tata nilai adab. Kedua hal itu mempunyai makna berbeda satu sama lain.

Baca Juga: Firman Subagyo: Pentingnya Bimtek untuk Tingkatkan SDM Petani Indonesia

Dakwah keagamaan kita rasakan kurang etis dicampurkan dengan humor bernada menyudutkan suatu pihak tertentu.

Berkaca dari sisi makna teologisnya, ketidakmampuan Miftah sebagai pemuka agama dalam memberikan pemahaman nilai ajaran yang sesuai dengan perilaku nyata hanya mencoreng esensi dari ajaran itu sendiri, atau bahkan merusak citra Agama.

Pemuka Agama harus bisa menjadi sosok panutan yang melaksanakan ajaran nilai ketuhanan dan menyamaratakan status sosial manusia di hadapan tuhan. Bukankah begitu ?

Sekali lagi, ajaran etika Pancasila sangat menjunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban setiap warga negara.

Kebaikan dan keburukan akan mudah ternilai dalam kehidupan sosial karena masyarakat sejak kecil di didik, diberikan pemahaman untuk memiliki pedoman Etika sebagai pegangan hidup.

Apalagi jika suatu gejolak berbau agama, negeri ini pasti akan mudah terpecah-belah.

Baca Juga: Jelang Nataru Pemkab Batang Selenggarakan Gerakan Pangan Murah

Situasi Politik Gus Miftah Terancam

Gus Miftah berada di lampu kuning perjalanan politik yang sedang ia bangun semenjak ia terpilih menjadi Utusan Khusus Presiden di pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto.

Pendapat Aristoteles tentang hakikat politik Dalam buku Ilmu Politik karya Fajar Tri Sakti, menjelaskan bahwa posisi politik adalah kehendak untuk mencari kekuasaan, memperoleh sesuatu yang dikehendaki, hingga melanggengkan segala cara untuk masuk menjadi bagian politik.

Blunder konyol es teh ini bisa saja mengusik posisi politik seorang Miftah. Ia bisa saja tergusur apabila propaganda kesalahan politik miftah menjalar kemana mana.

Opini publik akan membuka aspirasi masyarakat tentang skema demokrasi yang mampu merubah kondisi kapan saja.

Maka definisi pergantian (subtitute) tokoh tersebut akan benar terjadi. Walau kembali semuanya kepada keputusan Presiden terkait masalah ini.

Baca Juga: Buka Sidang Tanwir dan Milad 112 Muhammadiyah, Presiden Prabowo Apresiasi Kontribusi dalam Membangun Bangsa

Taubat

Yang lebih mengkhawatirkan lagi dari masalah ini adalah reaksi massa.

Spekulasi tentang pertentangan prinsip etika moral Pancasila dan superioritas jabatan politik nampaknya sedikit lebih kecil resiko daripada kehilangan kepercayaan.

Kata taubat dan mengucap istighfar adalah jalan terbaik untuk membuyarkan pikiran panas. Miftah memang salah, namun lebih salah lagi jika kita ikut ikutan menambah riuh suasana.

Jauh dari faktor internal dan ketenaran Miftah selama ini, ia harus tetap belajar legowo bahwasannya menjadi seorang guru (pendakwah) bukanlah profesi yang mudah.

Jadi guru malahan sangat sulit karena di dalamnya harus sama-sama mengerjakan apa yang diajarkan, bahasa jawanya adalah guru itu ‘di gugu lan di tiru’ (di percaya dan di ikuti ajarannya).

Kebaikan seorang guru akan menjadi ladang ibadah yang berhubungan langsung bersama Tuhan Yang Maha Esa.

Demikianlah guru memiliki tanggung jawab moral apabila yang ia ajarkan adalah kegelapan, maka guru akan menderita selamanya.

Agama selalu mengajarkan kebenaran serta menyamakan hak sesama manusia. Sama seperti prinsip Pancasila.

Ibarat kata, Miftah kini hidup dalam dua dunia: Pertama adalah sisi keagamaan dan  kedua sisi political yang keduanya memang tidak bisa terpisahkan.

Keduanya menjadi kesatuan absolut dalam diri Miftah Maulana. Dua hal iru menjadi dua mata pisau yang bisa menjadi bumerang.

Maka jalan terbaik adalah meminta maaf dan tidak mengulanginya lagi di kemudian hari. Tidak ada es teh yang lebih segar daripada dingin ya keharmonisan untuk saling menyayangi sesama.

Disclaimer: Artikel ini ditulis oleh Gayuh Ilham Widadi, S.Pd/ Pengajar Pendidikan Pancasila  Banjarnegara




2 thoughts on “Gus Miftah, Es Teh, dan Perspektif Moralitas Pancasila

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *