Kata yang Tak Terucap

KABAR-DESAKU.COM – Langit senja memerah ketika Aria menatap buku catatannya yang penuh coretan. Hatinya berdebar setiap kali ia memikirkan Kenzo, teman sekelas yang sering menjadi bahan pembicaraan gadis-gadis di sekolah. Namun, bagi Aria, Kenzo bukan hanya wajah tampan atau kapten tim basket yang selalu memikat perhatian. Ada sesuatu dalam caranya tersenyum atau menundukkan kepala saat mendengarkan orang lain yang membuat Aria tak henti memikirkannya.

Di sudut kamarnya, Aria menuliskan semua perasaannya. Surat cinta itu ia simpan rapi, berulang kali ditulis ulang agar sempurna. Namun, keberanian untuk menyerahkannya tak pernah muncul.

“Kenapa nggak kamu kasih aja? Kalau nggak, ya setidaknya ngobrol sama dia,” ujar Luna, sahabatnya, ketika mereka duduk di taman sekolah keesokan harinya.

“Aku nggak bisa, Lun. Dia terlalu… sempurna. Dan aku cuma… aku,” Aria menunduk, menggenggam surat itu erat.

Luna hanya tersenyum kecil. “Ar, kamu nggak pernah tahu sampai kamu coba.”

Namun, Aria tetap diam. Ia tak bisa membayangkan wajah Kenzo jika mengetahui isi hatinya.

Keesokan harinya, sesuatu terjadi yang tak pernah Aria duga. Ketika ia tergesa-gesa merapikan buku-bukunya di perpustakaan, surat cinta yang ia simpan di sela-sela buku jatuh tanpa ia sadari. Ia baru sadar saat Kenzo berdiri di depannya, memegang surat itu.

“Ini milikmu?” tanya Kenzo dengan nada lembut, matanya menatap tajam ke arah Aria.

Jantung Aria seakan berhenti. Ia ingin merampas surat itu, membakar, atau mungkin menghilang saja dari dunia. Namun, tubuhnya membeku.

“Nggak… itu bukan aku,” katanya gugup, wajahnya memerah seperti kepiting rebus.

Kenzo hanya mengangguk kecil. “Baik kalau begitu. Tapi aku suka tulisannya,” katanya sambil tersenyum, lalu pergi.

Aria tertegun. Ia bingung apakah harus lega atau panik. Bagaimanapun juga, rahasianya hampir terbongkar.

Selama beberapa hari setelah kejadian itu, Kenzo mulai lebih sering mendekati Aria. Ia menyapa di lorong sekolah, mencari alasan untuk duduk di dekatnya di kelas, bahkan sesekali bertanya tentang hal-hal kecil, seperti apakah Aria suka membaca buku tertentu.

“Kenapa dia jadi sering ngajak ngobrol?” bisik Aria kepada Luna saat istirahat siang.

“Mungkin karena dia tertarik sama kamu?” Luna mengangkat bahu sambil tersenyum nakal.

“Mustahil,” gumam Aria. Namun, diam-diam ia mulai menikmati perhatian itu.

Di tengah kebahagiaannya, tekanan dari orang tua mulai terasa. Ayah dan ibunya ingin Aria lebih fokus pada sekolah daripada mengurusi hal-hal seperti cinta. Aria sering mendengar mereka berkata, “Jangan terlalu bermimpi tinggi soal orang lain. Fokus saja jadi terbaik di kelas.”

Namun, segalanya memuncak ketika Kenzo memutuskan untuk berbicara langsung. Suatu sore, ia menunggu Aria di depan kelas.

“Aria, aku tahu surat itu milikmu,” katanya tanpa basa-basi.

Aria terkejut. “Apa? Kenapa kamu bilang begitu?”

Kenzo mengeluarkan surat yang ia temukan beberapa hari lalu. “Tulisan tanganmu mirip dengan catatan di papan tulis. Aku perhatikan. Tapi aku cuma ingin bilang… aku senang baca surat ini. Terima kasih sudah nulis untuk aku.”

Air mata hampir mengalir di pipi Aria, campuran antara lega dan takut.

“Aku nggak bermaksud bikin kamu nggak nyaman,” lanjut Kenzo. “Aku cuma mau bilang, aku juga suka kamu.”

Dunia Aria seakan berhenti. Apakah ia mendengar dengan benar? Kenzo, sosok yang ia anggap mustahil dijangkau, mengaku menyukainya?

“Apa maksudmu?” tanya Aria, nyaris tak percaya.

“Aku selalu ingin bicara sama kamu. Tapi kamu selalu terlihat sibuk atau terlalu jauh untuk aku dekati. Surat ini memberiku alasan.”

Aria terdiam. Ia mengingat semua ketakutannya, semua alasan yang ia gunakan untuk menjauh. Dan kini, semua itu runtuh dalam sekejap.

Hari itu menjadi awal dari sesuatu yang baru. Aria belajar bahwa ketakutan hanya akan membelenggu jika tidak dilawan. Ia dan Kenzo mulai sering menghabiskan waktu bersama, meskipun ia tetap menjaga fokus pada sekolah seperti yang diinginkan orang tuanya.

Persahabatannya dengan Luna semakin erat, karena Luna selalu menjadi tepat cerita dan pendukung setia. Meskipun mereka datang dari latar belakang yang berbeda, Aria belajar bahwa perasaan adalah jembatan yang mampu mengatasi segala perbedaan.

“Lihat kan, aku bilang kamu harus coba,” kata Luna sambil tertawa kecil ketika Aria menceritakan segalanya.

Aria hanya tersenyum, merasa dunia kini lebih indah dari sebelumnya.

Tamat.




One thought on “Kata yang Tak Terucap

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *