KABAR-DESAKU.COM – Pemimpin yang lahir dari sistem pilkada diharapkan akan melakukan beragam cara membangun daerah yang dipimpinnya.
Dalam perspektif globalisasi, terutama yang diusung oleh kelompok skeptis dengan tokoh utamanya James Petras dan Samir Amin, kehadiran pemerintah (daerah) dalam upaya mengatasi beragam problem masyarakat merupakan bentuk nyata dari peran negara di era dunia tanpa sekat ini.
Peranan yang dijalankan oleh pemerintah (daerah) tersebut dilakukan melalui serangkaian kebijakan dan program kerja yang inovatif-solutif.
Caranya bisa dilakukan dalam beragam bentuk. Bisa mengadopsi konsep David Osborne berupa Reinventing Government, atau bisa pula konsep New Public Service-nya Denhart, bahkan konsep Sound Government milik Ali Farazmand.
Pendek kata, pilihan kebijakan publik yang akan dilakukan pemimpin daerah tersebut bertumpu pada keberhasilan kalangan swasta menjalankan usahanya.
Ini semua hanya mungkin dilakukan jika kebijakan publik yang dihasilkan tersebut adalah program yang inovatif-solutif bagi problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat.
Dari sinilah logika pemilihan otonomi daerah sebagai sistem politik Indonesia pasca Orde Baru menemukan signifikansinya.
Ada korelasi yang segaris lurus antara pilkada dengan kesejahteraan.
Beragam problem sosial, terutama kemiskinan, seharusnya akan dapat diatasi dengan pelaksanaan otonomi daerah yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk pilkada.
Karena pilkada akan menghasilkan pemimpin yang memahami betul potensi dan problem daerahnya.
Baca juga: Banyak Tumbuh di Desa, Selain Kaya Manfaat Bunga Telang Juga Dapat Dijadikan Menu Kuliner
Dengan demikian, pemimpin daerah diharapkan akan menghasilkan beragam kebijakan publik yang inovatif-solutif bagi problem sosial masyarakat daerah.
Mengutip pendapat Bridgman dan Davis (2004), kebijakan publik diartikan sebagai ‘apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan’.
Lebih lanjut dikatakan bahwa bahwa kebijakan publik adalah keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya.
Implementasi dari kebijakan inovatif-solutif tersebut jika dijalankan dengan baik, maka kesejahteraan yang sudah menjadi visi negara ini akan dapat tercapai dengan sukses.
Karenanya, pilkada dengan pemimpin daerah yang dihasilkannya akan menjadi problem-solver bagi masalah-masalah sosial masyarakat, bukan malah sebaliknya menjadi problem-maker karena serangkaian perilaku koruptif yang dilakukannya.
Baca juga: Sukses! Rumah Baca Purnama Banjarnegara Gelar Bootcamp Literasi, Banjir Hadiah Broo!
Harus diakui memang, beberapa studi memperlihatkan bahwa sejauh ini implementasi otonomi daerah belum mampu mengantarkan masyarakat menuju kesejahteraan.
Maka ketika manusia sebagai mahluk sosial yang dalam perilaku di lingkungannya membutuhkan keberadaan orang lain.
Senada, Aristoteles menyebutnya sebagai Zoon Politicon dimana interaksi antara manusia dan lingkungannya dalam rangka memenuhi kebutuhan dirinya maupun orang lain.
Politik hanya bisa dilakoni oleh mahluk Tuhan yang bernama manusia. Sebab pada akal yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa, manusia mampu menjembatani kepentinganya antara satu dengan yang lain bahkan pada alam sekitar.
Realitas sosial yang secara khusus penulis tatap untuk merespon situasi dan kondisi di Sulawesi Tengah menghadapi pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur. Dan senantiasa melibatkan subjektifitas yang muncul dari pemikiran manusia seperti opini, persepsi, atau ide-ide tertentu mencakup eksternalisasi dimana ide-ide yang merupakan hasil pemikiran manusia akan eksis di kehidupan manusia.
Objektifikasi yang menjelaskan ide-ide yang yang lahir dari proses eksternalisasi dapat dipersepsikan sebagai sebuah kenyataan, menjadi konsensus dan mengalami interaksi sosial dan terjadi secara berulang (habituasi) dan Internalisasi dimana ketika ide menjadi objektifikasi dan diakui sebagai sebuah kenyataan lalu akan diserap dan dipahami oleh manusia sebagai pengetahuan.
Kekuasaan dan Kebebasan
Ambisi manusia nampak dalam kehidupan sehari-harinya. Bagaimana dia mencari makan untuk kelangsungan hidupnya, pakaian yang tidak sekedar menutup raganya melainkan lebih dari itu agar terlihat mencolok dan berbeda dari orang kebanyakan, dan bahkan memperoleh barang mewah untuk terlihat terpandang oleh lingkungan dimana dia hidup.
Lebih dari itu, manusia membutuhkan kekuasaan lebih agar dalam strata sosialnya terpandang, berkarisma dan berwibawa.
Perilaku ini merupakan paradigma sosial yang dapat dijumpai di sekeliling kita dan tentunya tidak dapat dihindari.
Dari sinilah kekuasaan bekerja seiring keinginan manusia itu ada.
Baca juga: Lima Ide Usaha Kecil-Kecilan di Desa: Dari Pengangguran Jadi Pengusaha
Bahkan kebebasan menjadi alasan setiap orang untuk memenuhi segala ambisinya.
Manusia memilih kekuasan dan kebebasan atau keduanya secara bersamaan untuk mengantarkan dirinya berada pada strata sosial yang lebih tinggi.
Gaya hidup yang mentereng cenderung menjadi hasrat untuk berkuasa.
Dalam konteks kontemporer, politik menjadi jalan utama manusia untuk merubah kehidupanya.
Karena itu ketika politik terlembagakan dengan baik misalnya melalui partai politik maka orang berbondong-bondong masuk dan mengambil peran sebagai mahluk politik yang seutuhnya.
Baca juga: Terlibat Dikegiatan MTQ, Keluarga Ahmad Ali Berangkatkan Ratusan Orang untuk Umroh
Fenomena klasik seperti ini dapat dijumpai disetiap momentum politik di Indonesia.
Tujuannya tidak hanya dalam rangka mewarnai dinamika demokrasi melainkan lebih dari itu ada keinginan lebih dengan motif yang berbeda pula.
Kekuasaan cenderung dimaknai sebagai jalan menuju kesejahteraan. Atau sebagai batu loncatan guna mengendalikan sistim dan keinginan yang mutlak.
Hal ini dapat kita jumpai beragam kekuasaan bekerja mengendalikan sistim dan kebijakan.
Mengatur dan membuat berbagai keputusan atas nama rakyat bahkan tidak menutup kemungkinan demi dan atas nama pribadi dan kelompok politiknya sendiri.
Baca juga: Meski Tidak Berdekatan dengan Laut, Desa di Pegunungan Juga Bisa Budidaya Lobster Air Tawar Lho
Karena itu, dapat kita lihat pula banyaknya orang-orang berkecimpung di dalam partai politik juga tak segan-segan membuat partai politik baru untuk menciptakan panggungnya sendiri.
Anak-anak muda, kaum perempuan dengan dalil keterpenuhan 30 persen keterwakilan, Aparatur Sipil Negara (ASN) yang nekat melepas Status Pegawai Negeri Sipil (PNS) demi mencoba peruntungannya dipanggung politik.
Para pengusaha yang rela banting setir guna merambah dunia politik hari ini dan juga sejumlah artis yang hanya mengandalkan popularitas ikut mengambil bagian di pentas politik tanah air menjadi catatan penting kita melihat sejauh mana Politik dan Kekuasaan menjadi magnet yang menjanjikan.
Idealnya, semangat berpolitik yang besar dan meluas ini dibarengi dengan pendidikan politik yang baik pula.
Padahal demokrasi tidak sekedar dimaknai dengan siapa memilih dan siapa dipilih, berapa jumlah partai politik atau siapa menang dan siapa kalah, tetapi lebih dari itu harus diikut sertakan dengan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaiman cita-cita Undang-Undang Dasar 1945.
Masyarakat tidak sekedar menjadi objek kekuasaan tetapi hak rakyat berupa pendidikan politik harus diberikan secara adil.
Baca juga: Pembangunan Rumah Baca Purnama, Diwarnai Masak Besar di Desa Cikura Bareng Heru Jejak Si Gundul
Dilain sisi, realitas sosial menunjukkan adanya pesimisme besar ditengah gegap gempita pesta demokrasi kita.
Partisipasi masyarakat yang menurun, sentimen sosial, konflik kepentingan yang meluas yang melibatkan Suku Agama dan Ras (SARA), berita hoax yang merajalela, juga maraknya transaksi politik (money politik) yang secara terang-terangan membunuh nalar rakyat serta norma-norma hukum yang cenderung dilanggar.
Demokrasi dan kebebasan yang digaungkan kembali menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian rakyat Indonesia, belum lagi ditambah dengan hasil produk demokrasi kita yang mengecewakan akibat perilaku penyimpangan seperti kejahatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan mandeknya aspirasi rakyat yang cenderung dipolitisir.
Realitas ini disebut bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Dengan dasar itu setiap orang merasa senang untuk melakukan sebuah kejahatan atas nama kebebasan tersebut namun ia merasa tidak senang manakala orang lain melakukan tindakan yang sama kepada dirinya sendiri.
BERSAMBUNG
Ditulis Oleh: Maulana Maududi (Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Central Analisa Strategis – DPP CAS)
2 thoughts on “Ketika Ahmad Ali Berpikir Melalui Pilgub, Sulteng Harus Lebih Baik untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat (Jilid 12)”