Menafsir Wejangan Syekh Mutamakkin: Novel Kuntul Nucuk Mbulan sebagai Cermin Jati Diri Santri Kajen

KABAR-DESAKU.COM – Di tengah arus modernisasi yang kian cepat, karya sastra memiliki peran penting sebagai penanda identitas kultural dan spiritual masyarakat. Salah satu karya yang menonjol dalam konteks ini adalah novel Kuntul Nucuk Mbulan karya Sahal Japara.

Novel ini lahir dari rahim tradisi dan spiritualitas Pantura, khususnya dari Desa Kajen, Kabupaten Pati, yang dikenal sebagai tanah kelahiran ulama karismatik Syekh Mutamakkin.

Mengambil inspirasi dari wejangan Syekh Mutamakkin, novel Kuntul Nucuk Mbulan tidak sekadar menghadirkan narasi fiksi, tetapi juga menjadi ruang tafsir ulang terhadap nilai-nilai sufistik yang tergurat pada ragam hias Masjid Kajen.

Dua wejangan yang menjadi titik sentral novel ini “Kuntul Nucuk Mbulan dan Sing Pendhitku Ngusap ing Mbun” berasal dari inskripsi kuno beraksara pegon dan simbol visual pada mimbar masjid.

Dalam cerita, tokoh utama Paejan, seorang santri muda di Desa Kajen diberi amanat oleh Mbah Jogo, pengasuh Pesantren Al Hikam, untuk mencari makna dua wejangan tersebut.

Perjalanan batin Paejan menjadi jalan pencarian jati diri yang sarat nilai-nilai sufistik khas pesantren.

Baca juga: Dosen FIB UNDIP Presentasikan Cerita Rakyat dan Manuskrip Jawa Pesisir sebagai Inspirasi Produksi Sastra

Simbol-Simbol Sufistik dalam Narasi Santri

Wejangan Kuntul Nucuk Mbulan ditafsirkan sebagai gambaran seekor burung kuntul yang hidup di berbagai tempat dan mematuk cahaya rembulan.

Ini menjadi simbol qanaah, keteguhan hati, dan tirakat spiritual dalam upaya mencapai derajat yang lebih tinggi.

Sementara itu, Sing Pendhitku Ngusap ing Mbun dimaknai sebagai wejangan agar santri senantiasa rendah hati, memohon restu kepada guru, dan tidak melupakan asal-usul dalam menuntut ilmu.

Kisah Paejan disusun dalam gaya bahasa khas anak muda pesantren, dengan penggambaran kehidupan sehari-hari santri yang akrab dengan makna gandul, surat-suratan, hingga konflik batin yang muncul di tengah rutinitas belajar.

Meski fiksi, novel ini dipenuhi pengetahuan lokal dan spiritual yang jarang tersentuh oleh narasi sastra populer arus utama.

Sukarjo Waluyo, pengamat budaya dan akademisi yang banyak mengkaji identitas masyarakat pesisir Jawa, saat dihubungi memberikan apresiasi tinggi terhadap novel ini.

Sukarjo menyebut bahwa Kuntul Nucuk Mbulan adalah contoh konkret bagaimana sastra bisa menjadi ruang pembacaan ulang terhadap identitas lokal.

“Novel ini menjadi tafsir kontemporer atas wejangan-wejangan spiritual masa lampau. Ini penting, karena masyarakat kita cenderung mewarisi nilai budaya tanpa proses reinterpretasi,” ujar Sukarjo, Kamis (26/6/2027).

Menurutnya, wejangan Syekh Mutamakkin yang selama ini hanya diterima sebagai petuah turun-temurun, telah diberi nyawa baru melalui narasi sastra.

Baca juga: Sukses Mengangkat Kearifan Lokal Potensi UMKM Susu dan Keju Gedawang, Sukarjo Waluyo Apresiasi KKN UNDIP 2025

“Penulis tidak hanya menghidupkan kembali nilai-nilai lama, tapi juga menyesuaikannya dengan konteks sosial anak muda hari ini. Ini upaya merawat tradisi sekaligus membangun jembatan dialog antar-generasi,” tambahnya.

Sukarjo juga menilai bahwa novel ini memberi kontribusi besar dalam membangun kesadaran akan pentingnya spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari santri.

“Simbol-simbol seperti kuntul dan embun bukan sekadar ornamen estetis, melainkan jalan menuju pemahaman diri yang lebih dalam,” tandasnya.

Novel Kuntul Nucuk Mbulan telah dicetak empat kali dan banyak beredar di toko buku sekitar Pati.

Selain populer di kalangan santri, novel ini juga menjadi bahan diskusi dalam berbagai forum pengajian, madrasah, dan peringatan Haul Syekh Mutamakkin.

Dalam konteks ini, karya tersebut bukan sekadar fiksi, melainkan juga bentuk dokumentasi nilai dan panduan hidup masyarakat Kajen.

Sastra memang tidak selalu hadir dengan teriakan, tetapi diam-diam ia menyusup dalam hati pembacanya.

Kuntul Nucuk Mbulan adalah bukti bahwa tradisi bisa tetap hidup dan relevan, selama ada yang mau menafsir ulang dengan penuh hormat dan cinta.***




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *