Taman Baca Antara Buku dan Manusia, Menyulut Api Literasi dari Dua Arah

KABAR-DESAKU.COM – Di tengah derasnya arus digital dan meredupnya kebiasaan membaca, taman baca menjadi oase kecil yang menyimpan harapan besar. Di dalamnya, berjajar buku-buku yang seolah menunggu untuk dijamah, dibuka, dan dimaknai.

Namun, sebuah pertanyaan mendasar sering muncul: mana yang lebih penting, mengelola buku-buku di taman baca atau menarik calon pembaca datang?

Pertanyaan ini tidak sekadar teknis. Pertanyaan ini menyentuh inti dari upaya literasi: apakah kita sedang membangun perpustakaan mini yang rapi dan teratur, ataukah sedang membangun budaya baca yang hidup dan mengakar?

Menata Isi Rumah Literasi

Mengelola buku bukan pekerjaan remeh. Ini merupakan langkah awal membangun kepercayaan dan kenyamanan.

Buku-buku yang tertata rapi, diklasifikasikan dengan baik, dijaga kondisinya, dan memiliki sistem peminjaman yang jelas adalah tanda bahwa taman baca menghargai ilmu pengetahuan dan pembacanya.

Lebih dari sekadar mengelola fisik buku, pengelolaan ini mencerminkan kesiapan taman baca untuk dihuni.

Baca juga: 10 Ide Usaha Sampingan di Desa yang Menjanjikan dan Mudah Dimulai

Tanpa pengelolaan yang serius, koleksi hanya akan menjadi tumpukan benda yang membosankan.

Pembaca yang datang pun bisa kecewa jika tak menemukan apa yang dicari, atau merasa tersesat di antara buku-buku yang tak terurus.

Menghidupkan Rumah Literasi

Namun, taman baca tidak bisa hidup sendiri. taman baca atau rumah baca butuh manusia, butuh interaksi, dan butuh dinamika.

Menghidupkan taman baca berarti mengundang orang untuk hadir, tinggal, membaca, berdiskusi, dan tumbuh bersama.

Strategi kreatif pun dibutuhkan. Bukan hanya lewat program rutin seperti kelas menulis atau lomba membaca puisi, tetapi juga lewat pendekatan yang membumi, ngobrol santai tentang buku di warung kopi, menyelipkan sesi dongeng di acara RT, atau memposting wajah-wajah pembaca cilik di media sosial.

Baca juga: Dosen dan Mahasiswa Telkom University Purwokerto Terapkan Teknologi IoT untuk Pertanian Cabai di Desa Kembaran Wetan

Bahkan, menghadirkan aroma kopi dan bantal-bantal duduk bisa menjadi pemantik keakraban.

Taman baca tidak harus sakral. Taman baca harus ramah. Tidak perlu sunyi, tapi penuh makna.

Menemukan Titik Temu

Lantas, harus mulai dari mana? Jawabannya bisa berbeda tergantung situasi. Bila taman baca masih baru berdiri dan koleksinya belum tertata, maka pengelolaan buku menjadi prioritas.

Tapi bila koleksi sudah tersedia, saatnya fokus membuka pintu selebar-lebarnya agar masyarakat merasa memiliki dan terlibat.

Pada akhirnya, taman baca adalah rumah bersama. Buku adalah jiwanya, dan pembaca adalah nadinya. Keduanya tidak bisa dipisahkan.

Baca juga: Bincang Literasi di Radio Suara Banjarnegara, Indra Hari Purnama Jawab Tantangan Menghidupkan Minat Baca di Era Digital

Membangun literasi bukan sekadar menyediakan buku atau menggelar acara.

Membangun literasi adalah perjalanan menyalakan api kecil dalam diri seseorang, api keingintahuan, semangat belajar, dan cinta akan pengetahuan. Dan taman baca, sekecil apa pun, bisa menjadi tempat api itu mulai dinyalakan.

Salah satu kegiatan Focus Group Diskusi di Rumah Baca Purnama

Literasi adalah Jalan Sunyi yang Menumbuhkan

Dalam konteks ini, Indra Hari Purnama, seorang pegiat literasi di Banjarnegara sekaligus pendiri Rumah Baca Purnama, menjadi pengingat yang menguatkan semangat:

“Membaca bukan hanya soal buku dan halaman, tapi soal harapan. Setiap taman baca adalah tempat orang menemukan dirinya sendiri.”

Indra, yang telah mendedikasikan waktunya untuk memberdayakan warga melalui kegiatan literasi akar rumput, pernah menyampaikan:

“Kita tidak sedang mendidik orang menjadi kutu buku, kita sedang membangun kesadaran bahwa membaca itu bagian dari menjadi manusia merdeka.”

Baca juga: Puluhan Mahasiswa dari Berbagai Perguruan Tinggi di Banjarnegara Berkumpul di Rumah Baca Purnama Dorong Kemajuan Pendidikan

Kehadiran tokoh-tokoh seperti Indra Hari Purnama membuktikan bahwa taman baca bukan hanya ruang penyimpanan buku, melainkan ruang pembebasan pikiran, tempat lahirnya gagasan, daya juang, dan harapan bagi masyarakat.

Rumah Baca Purnama hanyalah satu contoh dari sekian taman baca yang terus berjuang dalam sunyi.

Namun, dari sinilah kita belajar bahwa taman baca bukan soal memilih antara buku dan pembaca, tapi soal menjembatani keduanya agar bertemu dalam ruang yang bermakna.

Selama masih ada orang-orang yang peduli, seperti Indra Hari Purnama dan para relawan lainnya, literasi akan terus hidup, menyala dari kampung ke kampung, dari anak ke anak, dari halaman ke kehidupan.***




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *