BADUNG, KABAR-DESAKU.COM – Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, memiliki tradisi unik sekaligus menegangkan yang disebut tradisi Mekotek.
Melansir laman resmi Pemkab Badung, Rabu (21/5/2025), tradisi mekotek merupakan warisan leluhur umat Hindu Bali yang digelar secara turun-temurun sebagai bentuk permohonan keselamatan dan penolak bala.
Mekotek juga dikenal dengan sebutan ngerebek, dan digelar setiap 210 hari sekali—bertepatan dengan Hari Raya Kuningan, yaitu pada Sabtu Kliwon Kuningan menurut kalender Hindu.
Awalnya, tradisi ini menggunakan tombak besi sebagai simbol semangat juang. Namun karena banyak peserta mengalami luka, media upacaranya kini diganti dengan tongkat kayu pulet yang telah dikupas kulitnya dan dipotong sepanjang 2 hingga 3,5 meter.
Baca juga: Menikmati Keindahan Gunung Ciung di Bogor: Wisata Alam Ramah Pemula
Peserta upacara ini mencapai 2000 orang dari 15 banjar di Desa Munggu, dengan rentang usia mulai dari 12 hingga 60 tahun.
Mereka mengenakan pakaian adat khas, yaitu kancut dan udeng batik, lalu berkumpul di Pura Dalem Munggu untuk melakukan persembahyangan serta mengucap syukur atas hasil panen.
Puncak dari tradisi ini adalah adu tongkat kayu di udara yang disusun membentuk piramida atau kerucut. Dari atas tumpukan tongkat tersebut, peserta yang paling berani akan naik dan berdiri di puncak, lalu meneriakkan semangat kepada kelompoknya.
Kemudian, kelompok tersebut akan menabrakkan tongkat mereka ke arah kelompok lain, menciptakan suasana yang menegangkan namun penuh semangat kebersamaan.
Dentuman gamelan mengiringi jalannya upacara, menambah semarak dan aura sakral dalam ritual ini.
Asal-Usul Sejarah Mekotek
Tradisi ini dipercaya telah ada sejak abad ke-17, ketika Kerajaan Mengwi tengah berada dalam masa kejayaannya.
Saat itu, Mekotek digelar sebagai bentuk penghormatan dan penyemangat para prajurit yang hendak berangkat atau baru kembali dari medan perang.
Mereka membawa tombak besi dan berkumpul di tempat suci sebagai simbol semangat, keberanian, dan perlindungan dari para dewa.
Namun, pada masa penjajahan Belanda, tradisi ini sempat dilarang pada tahun 1915 karena dinilai membahayakan dan berpotensi memicu kerusuhan. Meskipun begitu, semangat masyarakat Munggu tak pernah padam.
Setelah berbagai penolakan dan desakan dari warga, Mekotek akhirnya kembali diizinkan pada tahun 1937, namun dengan beberapa penyesuaian, seperti mengganti tombak besi menjadi tongkat kayu pulet agar lebih aman.
Baca juga: Desa Wae Rebo: Permata Tradisi di Atas Awan
Mekotek bukan hanya sekadar tradisi adat. Ia adalah simbol keberanian, persatuan, dan penghormatan terhadap leluhur.
Bagi masyarakat Munggu, tradisi ini adalah cara menjaga warisan budaya, spiritualitas, dan semangat kebersamaan yang telah melekat sejak zaman kerajaan.
Kini, Mekotek tak hanya menarik perhatian warga lokal, tetapi juga menjadi daya tarik wisata budaya yang menyedot ribuan penonton dari berbagai belahan dunia.
Warisan perang suci ini terus hidup, membuktikan bahwa sejarah dan budaya Bali masih menyala kuat dalam denyut kehidupan masyarakatnya.