KABAR-DESAKU.COM – Kalender Jawa mengenal 1 Suro sebagai awal tahun baru yang penuh makna. Tidak hanya sebagai peristiwa spiritual, 1 Suro juga menjadi daya tarik wisata budaya yang unik dan penuh simbolisme.
Di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, dikenal sebagai wilayah yang kaya akan tradisi dan budaya spiritual.
Salah satu momentum penting yang masih dijaga hingga kini adalah peringatan 1 Suro, yang menandai pergantian tahun baru dalam kalender Jawa.
Momen ini bukan hanya soal hitungan waktu, melainkan penuh dengan makna filosofis dan spiritual. Sejumlah tradisi unik pun digelar untuk menyambutnya.
Berikut ini tiga tradisi sakral yang paling dikenal dalam menyambut 1 Suro di berbagai daerah di Indonesia.
1. Tapa Bisu / Mubeng Beteng – Introspeksi dalam Diam
Ritual topo bisu Lampah Mubeng Beteng yang digelar setiap tahun untuk memperingati tahun baru Jawa (1 Suro) sebagai warisan budaya Indonesia Tak Benda (WBTb,) Indonesia dari DIY sejak tahun 2015.
Di malam 1 Suro, ribuan orang berkumpul di sekitar Keraton Yogyakarta untuk mengikuti prosesi Tapa Bisu atau Mubeng Beteng.
Dalam tradisi ini, peserta berjalan kaki mengelilingi benteng keraton sejauh kurang lebih lima kilometer, tanpa berbicara sepatah kata pun.
Tapa Bisu bukan sekadar ritual jalan kaki, melainkan sebuah bentuk pengendalian diri, latihan batin, dan perenungan spiritual.
Diam menjadi simbol menahan hawa nafsu dan membatasi diri dari tindakan sia-sia. Tradisi ini menjadi ajakan bagi masyarakat untuk mengawali tahun baru dengan jiwa yang bersih dan tenang.
Tradisi budaya yang terus dilestarikan dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam atau Tahun Baru Jawa 1 Muharram 1446 H atau 1 Sura Je 1958 ini menjadi momentum merefleksikan diri melalui laku mubeng beteng dengan membisu alias tidak banyak berbicara atau tapa bisu lampah mubeng beteng.
Baca juga: Makna Bubur Suro: Tradisi Khas 1 Muharram yang Sarat Filosofi
2. Jamasan Pusaka – Membersihkan Warisan Leluhur
Tradisi lainnya yang tak kalah sakral adalah Jamasan Pusaka, yaitu ritual pencucian benda-benda pusaka seperti keris, tombak, hingga kerbau bule.
Tradisi ini umum dijumpai di lingkungan keraton, komunitas adat, atau keluarga yang masih menjaga warisan leluhur.
Air bunga, jeruk nipis, kemenyan, dan dupa digunakan sebagai media penyucian.
Prosesi ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan penghormatan, karena pusaka dipercaya memiliki nilai spiritual dan simbol perlindungan.
Proses ini berlangsung sakral dan tertutup di beberapa tempat, namun ada juga yang terbuka untuk umum atau dikemas sebagai pertunjukan budaya.
Jamasan bukan hanya tentang benda pusaka, tetapi tentang penghormatan terhadap sejarah dan kearifan leluhur.
Jamasan Pusaka mencerminkan penghormatan terhadap sejarah, leluhur, dan kekuatan spiritual masa lalu.
Baca juga: Tradisi Mandi Kembang atau Padusan 1 Suro: Simbol Pensucian Diri dalam Budaya Jawa
3. Larung Sesaji – Sedekah Laut sebagai Wujud Syukur
Di wilayah pesisir selatan Jawa, seperti Pantai Parangtritis, masyarakat menggelar Larung Sesaji atau Sedekah Laut sebagai bagian dari menyambut 1 Suro.
Tradisi ini berupa pelarungan berbagai sesaji ke laut, mulai dari bunga, makanan, hingga kepala kerbau atau kambing, tergantung daerah masing-masing.
Larung sesaji adalah bentuk syukur kepada Tuhan dan penghormatan terhadap penjaga laut seperti Nyai Roro Kidul.
Masyarakat percaya bahwa ritual ini membawa keselamatan dan keberkahan, baik untuk hasil laut, pertanian, maupun kehidupan sehari-hari.
Tradisi ini diramaikan dengan arak-arakan budaya, musik tradisional, serta bazar kuliner lokal.
Wisatawan bisa menikmati kemeriahan upacara sekaligus mengenal filosofi masyarakat pesisir terhadap alam dan kehidupan.
Selain aspek spiritual, tradisi ini juga menjadi daya tarik wisata budaya yang menghidupkan ekonomi lokal.
Baca juga: Pesta Kesenian Bali 2025 Magnet Wisata Budaya dan Penggerak Ekonomi Kreatif Pulau Dewata
Tiga tradisi di atas mencerminkan kekayaan budaya dan nilai-nilai luhur masyarakat Jawa dalam menyambut tahun baru.
Di balik bentuk ritualnya yang unik, terkandung pesan mendalam tentang introspeksi diri, penghormatan kepada leluhur, dan keseimbangan antara manusia dan alam.
Meski zaman terus berubah, warisan budaya seperti ini tetap relevan untuk dijaga. Lebih dari sekadar upacara tradisional, menyambut 1 Suro adalah upaya kolektif menjaga identitas budaya, spiritualitas, dan jati diri bangsa.***