DENPASAR, KABAR-DESAKU.COM – Di balik hiruk-pikuk Kota Denpasar yang modern, terdapat sebuah makam yang menyimpan kisah tragis sekaligus heroik dari seorang putri bangsawan Bali yang memilih memeluk Islam, lalu gugur karena keyakinannya.
Ia adalah Raden Ayu Siti Khotijah, putri dari Raja Pemecutan yang dikenal juga dengan nama asli Gusti Ayu Made Rai.
Makamnya kini berada di kawasan Pemecutan, Denpasar, Bali, di area seluas sekitar sembilan hektare. Kisah hidupnya menjadi bagian penting dari sejarah keragaman keyakinan dan budaya di Bali.
Nama Raden Ayu Siti Khotijah memang tidak asing di kalangan masyarakat Muslim. Meski berbeda dalam penulisan dan pelafalan, namanya identik dengan istri Rasulullah SAW, Siti Khadijah.
Baca juga: Petilasan Ardi Lawet: Warisan Tradisi dan Budaya Spiritual dari Lereng Timur Purbalingga
Menurut sumber lokal dan buku sejarah yang dijual di sekitar makam, Raden Ayu merupakan putri dari salah satu Raja Pemecutan. Sejak muda, ia dikenal sebagai gadis cantik, cerdas, dan menjadi pujaan istana.
Namun nasib berkata lain. Sang putri mengalami sakit kuning yang tidak kunjung sembuh.
Raja Pemecutan lalu menggelar sayembara terbuka, siapa pun yang bisa menyembuhkan putrinya, jika perempuan akan diangkat anak, jika laki-laki akan dinikahkan dengannya.
Sayembara itu terdengar hingga ke Pulau Jawa. Seorang ulama dari Yogyakarta memerintahkan muridnya, Cakraningrat IV, Raja Madura saat itu, untuk mencoba menyembuhkan sang putri.
Usaha Cakraningrat IV berhasil, dan sebagai bentuk penghargaan, sang raja menikahkan putrinya dengan raja Madura tersebut.
Sebelum pernikahan berlangsung, sang putri memutuskan memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Raden Ayu Siti Khotijah. Ia kemudian diboyong ke Madura.
Baca juga: Napak Tilas Perjalanan Dakwah Syekh Jambu Karang di Purbalingga
Setelah beberapa waktu, Raden Ayu Siti Khotijah kembali ke Bali bersama 40 orang pengiring.
Ia membawa sejumlah pusaka pemberian sang suami, termasuk tusuk konde, guci, dan keris.
Kedatangannya disambut hangat oleh keluarga istana. Namun, tak ada yang mengetahui bahwa sang putri telah memeluk Islam.
Petaka bermula ketika ia menjalankan ibadah salat maghrib di area suci Puri Pemecutan dengan mengenakan mukena.
Salah seorang patih kerajaan menyaksikan peristiwa tersebut dan menganggap ibadah yang dilakukan sebagai praktik ilmu hitam. Tuduhan ini disampaikan kepada raja.
Tanpa memverifikasi terlebih dahulu, Raja Pemecutan murka dan memerintahkan eksekusi terhadap sang putri.
Baca juga: Bedah Buku Babad Gripit: Menggali Sejarah Banjarnegara dan Jejak Penyebaran Islam
Raden Ayu Siti Khotijah digiring ke kompleks pemakaman dekat Pura Kepuh Kembar. Menyadari takdir yang akan menimpanya, sang putri justru tenang.
Ia meminta untuk tidak dibunuh dengan senjata tajam karena tidak akan mempan. Sebaliknya, ia meminta ditusuk menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih dan benang Tri Datu (merah, putih, dan hitam).
“Jika tubuhku mengeluarkan asap harum, buatkan aku tempat suci,” ujar Siti Khotijah kepada patih kerajaan.
Benar saja, usai penusukan, dari tubuhnya keluar asap beraroma harum. Para patih dan pengiring yang awalnya penuh curiga berubah menjadi sedih dan menyesal. Sang raja pun disebut sangat terpukul dan menyesali keputusannya.
Jenazah Raden Ayu Siti Khotijah dimakamkan di tempat tersebut, dan sesuai wasiatnya, dibuatkan tempat suci yang hingga kini dikenal sebagai makam keramat.
Baca juga: Tradisi Ziarah Kubur Menjelang Lebaran: Antara Budaya dan Syariat
Untuk menjaga dan merawat makam tersebut, pihak istana menunjuk Gede Sedahan Gelogor, kepala urusan istana saat itu.
Kini, makam Raden Ayu Siti Khotijah menjadi salah satu tempat ziarah penting di Bali, dikunjungi oleh berbagai kalangan dari latar belakang agama yang berbeda.
Kisahnya menjadi simbol keberanian, pengorbanan, dan keyakinan yang teguh di tengah masyarakat yang beragam budaya dan kepercayaan.*** (Sumber: Laman resmi Pemkot Denpasar)